Saya seorang petualang.
Saya melihat hidup dengan segala keindahannya
yang mungkin belum saya kunjungi.
Oleh karenanya, saya selalu menyelam lebih
dalam ; berjalan lebih jauh ; mencari tahu lebih banyak.
Tanpa komando.
Dan saya biasanya bisa mengusir ragu.
Walau ada risiko di depan. Tapi luka, darah,
bukan penghalang utama buat saya.
Lalu apa jadinya bila saya mengeksplorasi
sebuah semesta baru.
Kamu.
Yang konsonan namanya sudah tersimpan di
hippocampus; lalu ke amygdala.
Yang tak sengaja terucap dalam setiap doa; yang
bila bumi ini ialah gua,
maka yang akan terdengar ialah namamu yang bergema.
Sudah saya ingatkan pada diri sendiri untuk jangan
menyelam terlalu dalam,
Tapi
apalah daya saya yang ekspresif
Dan kamu yang atraktif.
Tapi apalah daya hangatmu,
Dan alamiku
yang selalu bisa jatuh untuk itu.
Untuk perlindungan, kenyamanan, hingga privasi
;
untuk sekedar mengetahui ada rumah yang dapat
ditinggali
sampai kaki ini tiada perlu berjalan lebih jauh
lagi;
Untuk mengetahui ada tempat mengadu pada
makhluk Tuhan yang hidup di tanah Pertiwi,
di bawah marcapada.
Namun sepertinya rumah masih jadi proyeksi.
Dan kamu tetap disana. Tiada merengkuh semesta
yang sudah sedikit tercipta di antara kita.
Impian dan cita kita, sama-sama masih kabur.
Hanya ironisnya akulah yang terlanjur jatuh
terlebih dahulu.
Mungkin lebih tepatnya, terperangkap.
Tiada bahaya berarti menanti;
Sebatas perkara hati yang merasa
rengkuhanmu belum ada.
Sedang waktu di kalender dan surya terus berjalan
meminta disapa
Apa kabar tentang ambisi dan impian yang kutanggalkan
demi membayangkan semesta bersamamu
dan menuju tanah pijakanmu?
Bandung, Mei 2016