life in technicolor

Senin, 06 Juni 2016

Semesta Baru

Saya seorang petualang.
Saya melihat hidup dengan segala keindahannya yang mungkin belum saya kunjungi.
Oleh karenanya, saya selalu menyelam lebih dalam ; berjalan lebih jauh ; mencari tahu lebih banyak.
Tanpa komando.
Dan saya biasanya bisa mengusir ragu.
Walau ada risiko di depan. Tapi luka, darah, bukan penghalang utama buat saya.

Lalu apa jadinya bila saya mengeksplorasi sebuah semesta baru.
Kamu.
Yang konsonan namanya sudah tersimpan di hippocampus; lalu ke amygdala.
Yang tak sengaja terucap dalam setiap doa; yang bila bumi ini ialah gua,
maka yang akan terdengar ialah namamu yang bergema.

Sudah saya ingatkan pada diri sendiri untuk jangan menyelam terlalu dalam,
Tapi
apalah daya saya yang ekspresif
Dan kamu yang atraktif.
Tapi apalah daya hangatmu,
Dan alamiku
yang selalu bisa jatuh untuk itu.
Untuk perlindungan, kenyamanan, hingga privasi ;
untuk sekedar mengetahui ada rumah yang dapat ditinggali
sampai kaki ini tiada perlu berjalan lebih jauh lagi;
Untuk mengetahui ada tempat mengadu pada makhluk Tuhan yang hidup di tanah Pertiwi,
di bawah marcapada.

Namun sepertinya rumah masih jadi proyeksi.
Dan kamu tetap disana. Tiada merengkuh semesta yang sudah sedikit tercipta di antara kita.
Impian dan cita kita, sama-sama masih kabur.
Hanya ironisnya akulah yang terlanjur jatuh terlebih dahulu.
Mungkin lebih tepatnya, terperangkap.
Tiada bahaya berarti menanti;
Sebatas perkara hati yang merasa
rengkuhanmu belum ada.

Sedang waktu di kalender dan surya terus berjalan meminta disapa
Apa kabar tentang ambisi dan impian yang kutanggalkan
demi membayangkan semesta bersamamu
dan menuju tanah pijakanmu?
Bandung, Mei 2016




Kamis, 08 Oktober 2015

Constellation


Figure one.  (Aphelion and Perihelion)
Antara saya dan kamu terbentang titik jauh dan titik dekat. Tapi ratus ribu kilometer yang terbentang tetap jauh, secara spasial. Dan entah bisa dicapai berapa lama dalam satuan waktu.

Tapi, di sini saya yang mengorbit kamu selalu bisa melihat kamu. Bisakah kamu melihatku? Entahlah, mungkin ketika lintasanku tidak bertabrakan dengan satelit atau planet sekitar.

Tapi letak pemandanganmu selalu sama: Di langit saya, karena posisi kamu memang untuk dipuja. Saya melihatmu di atas sana dan bukan di hadapan saya. Saya tidak yakin saya bisa mencapai kamu.

Entahlah,
saya hanya memiliki dua gaya : berputar terhadap diri sendiri atau mengelilingi kamu. Bersama asteroid-asteroid lainnya.

Bukan hanya saya planet yang berputar terhadap kamu. Ada tujuh planet lainnya di tata suryaku.

Dan entah di tata surya lainnya yang belum diluar jangkauanku untuk mengetahui. Terlalu banyak yang mengorbit kamu.
Sedangkan kamu, cuma satu.




Figure two. 





Figure three :
 A song from a random playlist on the web ; my preference of lullabies.
Been crazy over Sleeping at Last since years ago, they are my comforting sounds other than John Mayer.

But I have to admit it. The last words on the lyric are the best shot.
'...you're the universe I'm helpless in...'

Cause I'm that earth and suddenly a creature become the center of my universe,
and within me is a gravitation. Around me is a lunar force. I'm helpless and don't know where to go.



Best,
Dita



Kamis, 16 April 2015

Pintu Rumahku



Pintu Rumahku

Dari mana, dan ujar siapa kau temukan rumahku menarik?
Padahal pintunya sulit dibuka lama-lama.
Pula modelnya, kalah futuristik bila kau lihat rumah-rumah di sebrang sana.

“Mampirlah lagi,” ujarku pada engkau yang menyapa saat kau menjadi tamu,            
            lalu berubah menjadi penghuni semenjak kuberi tahu kau
sandi-sandi kunci rumahku
semenjak kita yang saling menyanggupi untuk berbagi dunia di dalam sana.

Kau sirami kembang-kembang di rumahku  
hingga aku sadar hanya karena kamu, keberadaan segala kembang dan lukisan-lukisan pelipur lara menjadi disubstitusi.

Perlahan pula kau ganti isi rumahku, dengan apa yang kau bilang : “ini layak, dan perlu”
            seperti perlunya kombinasi segelas susu,
kecup sebelum tidur ,
pula secangkir kopi hitam, dan kecup selamat pagi

            Tapi di antara kecup dan peluk pula kadang kau ambil
sejumput kesabaranku
            seperti jika kau tak setuju dengan beberapa gelas baru di tatakan,
            atau aku yang tak mau seluruh isi furniturku kauganti jadi baru.

Tapi tak mengapa, tak mengapa buatku.
            Menjembatani perbedaan hanya satu-satunya yang harus kita pecahkan.
            Selain itu musuhku dan musuhmu hanya satu,
            yaitu jam tua di rumah yang selalu berdentang dan memperingatkan : 
“Duhai muda-mudi, waktu adalah abadi, dan dunia bukan hanya milikmu berdua.”

            Lalu kau dan aku mulai berpikir bahwa kita, adalah kesatuan yang fana.
menjadi petualang adalah satu-satunya jalan untuk mencurangi waktu, ujarmu, yang pula ku setujui.
            Pula jam tua menyadarkan aku,
kita yang masih muda namun penuh cinta pada akhirnya harus rela untuk mau melihat dunia.
sebab belum punya cukup energi dan kesanggupan untuk membuat satu sama lain bertahan di balik pintu rumah lebih lama.

Lalu kutiupkan saja angin dari daun-daun kembang
yang pernah engkau sirami,
supaya mengecupi kelopak mata, bibir, dan keningmu
mencoba berkata : hati-hati di perjalananmu..

              Suatu hari, lewat antenna rumahku kudengar apa yang kau ucap pada semesta. Tentang indahnya sebuah rumah di sana.
Temboknya tinggi-tinggi dan kau mulai menyirami kembang-kembangnya.
Para tetangga dekat rumahku mulai berbisik,  “Kamu hebat,”
sebab penghuninya tak biasa meruntuhkan temboknya untuk sekadar orang lain masuki.

Tapi sayangku,
Entah apa yang semesta perbuat, entah lewat gemuruh anginnya, atau apa
Sebab pintu rumahku jadi rusak dan tak bisa dibuka dari luar.

             Belum mau kuperbaiki pintu rumahku, sebab kurasa belum perlu.
                                                Hanya takutnya nanti,
                                                Jika kau buka lagi, kau jadi tak bisa pulang.
                                                Dan kecup sayang kita, hanya tinggal tradisi lama.
                                                Yang manisnya tak bisa lagi diulang.

Bandung, 16 April 2015


           

Rabu, 04 Maret 2015

Ia yang meminta ruang



Iya, aku paham.

Indahnya rasa kadang menjadi beban tersendiri karena kemunculannya, bukan?

Ia hadir dan juga meminta ruang dalam langkah kakiku, langkah kakimu, langkah kakinya,

terlebih lagi bertanya : mau dibawa kemana?



Aku juga tidak tahu. Kamu juga tidak tahu. Maupun ia.

Kalau aku boleh berbagi kebingunganku :



Aku juga jadi bingung siapa yang menciptakan rasa.

Kalau rasa diciptakan Tuhan, mengapa Tuhan tidak mengambilnya sekarang?

Keberadaannya minta diperhatikan

Bisa apa lagi selain kuubah wujudnya dalam olahan-olahan kata dan suara

Tapi segalanya bermuara lagi pada kamu

Dan semenjak itu aku percaya, keberadaan rasa

sungguh membelenggu.



Jadi,

Jika kita berbagi kebingungan yang sama

Lepaslah belenggu itu, Sayangku.

Mengapa tidak kita biarkan manis bibir kita yang beradu,
pula pada akhirnya

biar rasa yang ada setelahnya

menemukan jalan keluarnya.



Bandung, tahun baru cina 2015

Sabtu, 20 Juli 2013